Iklan

Armia Jamil, Jurnalis Perang yang Memilih Merawat Damai

Redaksi
12 Agustus 2025
Last Updated 2025-08-12T08:55:07Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates

 

Armia Jamil. Foto: AJNN/Putri Zuhra Furna


Suaradiksi.com. Lhokseumawe - Jari jemari Armia Jamil terlihat sibuk memainkan layar handphonenya, Selasa, 12 Agustus 2025. Sorot matanya tajam menatap gawai, tetapi jurnalis asal Lhokseumawe yang memiliki beragam kisah ketika liputan konflik di Aceh itu sering tersenyum ketika berbicara. 


“Liputan di tengah konflik Aceh ada suka dan dukanya, menyenangkan, tetapi juga mengerikan. Apalagi nyawa jadi taruhannya, tapi yang pasti tak ada berita seharga nyawa,” kata Armia, sapaan akrab pria yang saat ini juga menjabat sebagai Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Korda Lhokseumawe Raya kepada AJNN.


Sembari memperlihatkan foto ketika liputan, Armia berkisah awal mula meliput berita perang di Aceh pada tahun 1997. Saat itu, Armia menyingkirkan rasa takut, gundah, dan hal lainnya yang membebaninya meliput. Terlebih pada masa itu dia meliput laporan-laporan dari lokasi konflik di Aceh tidak sendiri.


“Perasaan was-was, tetapi karena pergi bersama dengan teman-teman wartawan lainnya, jadi tidak terlalu takut juga,“ kata Armia yang sesekali tertawa mengingat masa-masa liputan konflik.


Tangannya masih saja memainkan layar handphone, Armia menceritakan salah satu pengalamannya liputan pada tahun 1998 silam. Ketika itu, dirinya bersama teman-teman wartawan lain meliput peristiwa baku tembak antara TNI dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). 



Bersamanya ada Ali Raban yang saat itu sebagai kameramen RCTI, Umar AN dulunya sebagai reporter RCTI, dan Muharam wartawan Serambi Indonesia serta Khalid yang dulu meliput untuk Reuters. 


Liputan yang dilakukan Armia dan kawan-kawan di sana tidak semudah melintas di jalan tol. Rekan-rekan jurnalis bahkan diminta mundur dari lokasi kejadian oleh TNI. Permintaan tersebut bukan hanya secara lisan, tetapi juga disertai dengan todongan senjata.


Gelagat tidak baik itu membuat Armia dan para wartawan lainnya balik badan. Namun, rombongan wartawan sempat melihat gumpalan asap tebal dalam perjalanan pulang mereka.


Armia dan rekan-rekan jurnalis pun beraksi untuk mengambil gambar. Akan tetapi tiga mobil TNI mendatangi para jurnalis tersebut. Para serdadu itu melepas tembakan yang diarahkan ke para wartawan. Ada pula yang menembak ke atas.


Wartawan yang meliput hari itu, kenang Armia, juga turut diancam. Semua peralatan liputan bakal dihancurkan jika tak segera meninggalkan lokasi. Namun setelah komunikasi, aparat negara tersebut mengembalikan kamera wartawan. 


Mereka diminta meninggalkan lokasi dalam hitungan tiga kali tembakan.


“Jadi kami ini langsung ambil kamera dan lari ke mobil. Bahkan kami hampir tidak bisa lagi buka kunci pintu mobil akibat panik. Setelah semua masuk mobil, kami langsung balik dan mereka sebagiannya tetap menembak ke arah kami, meskipun tidak mengenai,” kata Armia.


Seperti tidak kapok, para jurnalis masa itu kembali meliput seperti biasa di lokasi lain. Tujuan utama mereka adalah untuk mendapat gambar tentang kondisi konflik di Aceh agar bisa menjadi konsumsi publik.


Armia mengaku setelah peristiwa liputan di Paya Bakong itu, dirinya sempat tidak aktif meliput selama dua bulan. Dia bahkan turut di-peusijuk (tepung tawar) karena kejadian tersebut cukup mendatangkan trauma baginya saat itu.


Armia kemudian tertawa setelah mengingat momen tidak menyenangkan ketika meliput konflik di Paya Bakong tersebut.


Kisah baku tembak di Paya Bakong bukan satu-satunya liputan masa konflik yang dilakukan Armia. Dia juga pernah meliput peristiwa konflik di Pidie. Jalanan saat itu sepi karena sedang berlangsung aksi mogok massal. Hanya mobil ambulans, truk reo TNI/Polri, dan mobil wartawan yang melintas.


Armia tidak mengingat persis tanggal kejadian itu. Namun dia mengenang, saat itu baru saja terjadi baku tembak antara pasukan Brimob dengan GAM. Armia yang menumpang satu unit mobil melaju di jalanan tersebut. Tiba-tiba, satu mobil Jeep yang mengangkut pasukan Brimob menuju ke arah mereka dan hendak menembak.


"Kami wartawan!" kata Armia, menirukan adegan peristiwa itu kepada AJNN.


Berkat teriakan tersebutlah membuat pasukan Brimob mengurungkan niatnya menembak Armia dan rombongan.


Tak hanya ditodong ataupun nyaris ditembak oleh aparat bersenjata. Armia juga pernah merasakan bagaimana sulitnya wartawan mewawancarai petinggi GAM, seperti Tgk Abdullah Syafiie. Padahal tajuk liputan saat itu sekadar konferensi pers.


Guna mendapat liputan itu, Armia dan kawan-kawan seringkali dijemput dengan sepeda motor oleh pasukan GAM. Mata mereka ditutup. Perjalanan yang dirasakan pun begitu jauh dengan waktu tempuh hingga satu jam lebih.


Apa yang dilakukan oleh GAM itu untuk mengaburkan jejak. Agar pertemuan antara wartawan dengan narasumber dari GAM tidak mudah dilacak oleh pasukan TNI maupun Polri.


Banyak pengalaman yang didapat Armia dari meliput konflik di Aceh pada masa lalu. Baik dari sisi kemanusiaan ataupun hal lainnya. Ancaman kekerasan bahkan penghilangan nyawa secara paksa marak terjadi saat itu. Penculikan dan juga pertempuran bersejata juga sudah saban hari terjadi.


Dia juga pernah merekam kejadian ketika seorang temannya dibawa TNI. Korban diikat dan diangkut menggunakan helikopter. Armia merasa iba, tetapi dia tidak dapat membantu rekannya tersebut.


Teman Armia bahkan secara spontan mengucapkan terima kasih lantaran dirinya merekam kejadian itu. Korban berharap rekaman itu tidak akan hilang. Beruntung, teman Armia kembali setelah beberapa bulan kemudian.


Armia mengakui tetap melakoni pekerjaan sebagai wartawan di masa konflik karena panggilan hati. Lagipula masyarakat sangat membutuhkan informasi akurat di lapangan tentang peristiwa-peristiwa di Aceh.


“Seperti teman saya yang mengucapkan terima kasih, padahal dia sedang dalam bahaya. Jadi ini balik lagi pada panggilan hati masing-masing,” tutur Armia, yang sesekali raut wajahnya berubah ketika mengingat masa silam.


Armia mengatakan menjadi seorang wartawan adalah panggilan hati. Jiwanya sebagai jurnalis juga sudah melekat sehingga terpanggil untuk terus memberikan informasi yang berguna kepada masyarakat.


Prinsip tulus menjalani profesi tanpa kepentingan menjadi pegangannya hingga sekarang. Hal inilah yang membuat Armia terus berkutat menjalani profesi wartawan hingga dua dekade damai terjadi di Aceh. 


Meski bisa disebut alumni jurnalis perang, Armia berharap masyarakat dapat terus merawat damai. Agar warga tak lagi kehilangan sanak saudara dan ekonomi Aceh dapat tumbuh lebih baik.


“Terus rawat perdamaian dan mewujudkan Aceh yang lebih maju, sejahtera, dan bermartabat,” harap Armia.


Sumber : ajnn


iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl