 |
| Kasatpol PP dan WH Aceh Utara Adhariadi bersama anggotanya sedang menyantap nasi perang di salah satu kedai kopi di Lhokseumawe saat jam kerja, Selasa, 22 Juli 2025. Foto : Dedy |
Suaradiksi.com. Aceh Utara – Sebuah pemandangan yang memicu gelombang kritik publik terjadi pada Selasa, 22 Juli 2025 pagi.
Kepala Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah (Satpol-PP/WH) Kabupaten Aceh Utara, Adhariadi, kedapatan duduk santai di salah satu kedai kopi di kawasan Lhokseumawe sekitar pukul 09.00 WIB, waktu di mana para aparatur seharusnya berada di kantor menjalankan tugas.
Adhariadi terlihat asyik menyeruput teh setengah panas sambil menikmati seporsi nasi perang. Ia ditemani oleh Kabid Linmas dan Antar Lembaga Mansuri, yang tampak tertawa lepas di sela obrolan.
Kejadian ini memantik sorotan publik, mengingat Satpol-PP dikenal sebagai institusi penegak disiplin, termasuk menertibkan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang mangkir dari kewajiban jam dinas.
Ironisnya, di hari yang sama, Satpol-PP Kota Lhokseumawe sedang gencar melakukan razia ASN di warung kopi. Beberapa ASN yang kedapatan nongkrong langsung diminta menunjukkan identitas pegawai dan diarahkan kembali ke kantor. Aksi tegas ini menuai pujian publik karena dinilai mampu menegakkan wibawa aparatur.
“Bagaimana mau menertibkan orang lain kalau dirinya sendiri memberi contoh buruk? Lhokseumawe saja sedang giat menindak ASN yang nongkrong di warung kopi, tapi petinggi Satpol-PP Aceh Utara malah nongkrong santai,” ujar Indra, seorang warga Lhokseumawe, dengan nada kesal.
Kritik Soal Integritas dan Keteladanan
Peristiwa ini memunculkan pertanyaan besar mengenai integritas dan moralitas aparatur penegak perda di Aceh Utara. Publik menilai sikap santai seorang Kasatpol-PP di jam dinas tidak hanya melanggar disiplin, tetapi juga merusak citra institusi yang seharusnya menjadi teladan.
“Kalau aparat penegak perda saja tidak memberi contoh, bagaimana masyarakat bisa respek? Jangan sampai masyarakat melihat ada standar ganda antara ASN biasa dan petinggi Satpol-PP,” tambah Indra.
Dalih Lapar yang Menuai Kritik
Dikonfirmasi soal kehadirannya di kedai kopi, Adhariadi berdalih belum sarapan di rumah. “Pagi itu saya sudah masuk kantor, tanda tangan, dan menyelesaikan beberapa pekerjaan lainnya. Karena lapar, saya keluar sebentar untuk sarapan setengah jam lalu kembali bekerja,” ujar Adhariadi, Rabu 23 Juli 2025.
Pernyataan tersebut menuai kritik karena dinilai mengabaikan etika dan kesadaran publik. Jam dinas ASN adalah representasi pelayanan kepada masyarakat, bukan sekadar formalitas. Dalih ini justru memberi kesan bahwa Satpol-PP Aceh Utara belum memiliki keseriusan dalam menegakkan kedisiplinan internal.
Tidak Ada Instruksi Razia, ASN Bebas Nongkrong?
Adhariadi juga menyatakan bahwa pihaknya belum menerima arahan dari Bupati Aceh Utara, Ismail A Jalil (Ayah Wa) untuk melakukan razia kedisiplinan ASN di warung kopi.
“Kami masih menunggu arahan dari Ayah Wa. Beliau meminta setiap kepala OPD menegakkan disiplin internal. Kalau tidak, jabatan kepala OPD bisa dicopot,” kata Adhariadi.
Pernyataan ini memunculkan kesan “lepas tangan” dan memancing pertanyaan: Apakah ASN Aceh Utara bebas nongkrong di warung kopi selama tidak ada perintah razia dari Bupati?
Publik Mendesak Evaluasi Kedisiplinan Satpol-PP Aceh Utara
Kontrasnya situasi antara Aceh Utara dan Lhokseumawe membuat publik mendesak evaluasi serius terhadap kinerja Satpol-PP Aceh Utara. Keteladanan pimpinan Satpol-PP dinilai kunci untuk mengembalikan wibawa institusi.
“Kalau Lhokseumawe bisa tegas, kenapa Aceh Utara tidak? Ini soal mentalitas, bukan hanya instruksi. Kalau pimpinan saja nongkrong, jangan heran kalau bawahannya ikut-ikutan malas,” ucap salah seorang warga yang enggan disebut namanya.
